Dalam beberapa hari terakhir, Indonesia diguncang rentetan tragedi bunuh diri. Seorang perempuan melompat dari lantai empat mal di Solo. Seorang narapidana ditemukan tewas di Lapas Jambi. Seorang pelajar di Sumatra Barat mengakhiri hidupnya. Dan seorang kepala sekolah SMP ditemukan gantung diri. Empat nyawa melayang dalam waktu yang berdekatan.
Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar rangkaian berita duka. Tapi kalau kita lihat lebih jauh, kasus-kasus itu adalah alarm keras tentang kondisi batin masyarakat kita. Alarm yang sudah lama berbunyi, tapi sering kita abaikan.
WHO merilis data yang membuat dada sesak: setiap tahun, 720 ribu anak muda di dunia meninggal karena bunuh diri. Itu menjadi penyebab kematian terbesar ketiga pada usia 15–29 tahun. Penyebabnya berlapis: kecemasan, depresi, kesepian, masalah finansial, diskriminasi, hingga perasaan menjadi beban.
Di Indonesia, survei kesehatan mental mencatat 5,5% remaja mengalami gangguan mental. Tapi karena stigma, banyak yang memilih diam. Padahal para ahli sudah menegaskan: bunuh diri bukan tindakan egois. Itu biasanya terjadi ketika seseorang merasa tidak punya lagi ruang untuk hidup.
Pertanyaannya: kenapa makin banyak orang kehilangan ruang itu?
Menurut saya, ada satu jawaban yang jarang kita sentuh: manusia kehilangan pusat nilai. Kita hidup pada masa ketika hal-hal yang seharusnya biasa; prestasi, status, citra diri diangkat menjadi maha penting. Manusia bukan hanya ingin diterima; manusia takut ditolak. Bukan hanya ingin berhasil; manusia takut terlihat gagal.
Dan di sini, saya melihat perlunya menghidupkan kembali sebuah gagasan yang sesungguhnya sangat radikal: tauhid. Bukan sebagai dogma, tetapi sebagai fondasi cara berpikir yang menempatkan manusia di tempat yang wajar.
Cak Nur, dalam gagasan besarnya tentang desakralisasi, mengingatkan bahwa kerusakan sosial muncul ketika manusia “menyucikan” sesuatu yang seharusnya biasa. Jabatan dianggap suci. Popularitas dianggap tanda nilai diri. Kelompok dianggap pemilik kebenaran mutlak. Padahal itu semua profan.
Ketika yang profan disucikan, manusia tertekan.
Ketika opini publik dianggap absolut, manusia kehilangan napas. Ketika standar sosial ditempatkan setinggi langit, hidup terasa sempit. Pandangan itu menarik bila disandingkan dengan pemikir Barat. Albert Camus menyebut manusia harus berani “memberontak” untuk mempertahankan martabatnya. Sartre bilang manusia pada dasarnya bebas, dan kehilangan kebebasan berarti kehilangan dirinya. Nietzsche melihat bahaya besar ketika manusia terjebak dalam herd mentality, mengikuti standar mayoritas sampai kehilangan kehendaknya sendiri.
Huston Smith menambahkan dimensi lain: monoteisme, katanya, adalah “revolusi moral terbesar” karena ia menegaskan hanya Tuhan yang absolut. Sisanya relatif, boleh dikritik, dan tidak layak dituhankan.
Sementara Naquib al-Attas mengingatkan bahwa tauhid adalah fondasi adab, penempatan sesuatu pada posisi yang benar. Termasuk menempatkan manusia sebagai makhluk bermartabat, bukan objek tekanan sosial.
Semua pemikiran itu, dari berbagai tradisi, bermuara pada satu gagasan sederhana: manusia rusak ketika ia menuhankan sesama manusia atau menuhankan sesuatu yang bukan Tuhan. Itulah sebabnya saya berpandangan bahwa tauhid dalam makna eksistensial, bukan slogan religius bisa menjadi kompas yang hilang.
Tauhid adalah cara berkata: yang absolut hanya Tuhan, sisanya tidak layak membuat manusia runtuh. Dan percaya atau tidak, cara pandang ini meringankan banyak beban psikologis yang tak perlu.
Lalu bagaimana gagasan ini bisa ditarik ke realitas tragis yang sedang kita lihat?
Menurut saya, tragedi bunuh diri bukan hanya kegagalan sistem kesehatan mental. Ia juga kegagalan sosial dalam memulihkan nilai kemanusiaan. Kita terlalu cepat menilai, terlalu ketat menuntut, terlalu jarang memberi ruang aman untuk rapuh.
Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat:
Pertama, turunkan ekspektasi yang tidak manusiawi. Tidak semua orang harus kuat setiap hari. Tidak semua hidup harus mulus. Tidak semua remaja harus tahu mau jadi apa di usia 17 tahun.
Kedua, berhenti menuhankan pencapaian. Gelarnya tidak sakral. Jabatannya tidak sakral. Angka pengikutnya tidak sakral. Yang sakral hanya kehidupan itu sendiri.
Ketiga, buka ruang aman untuk “tidak baik-baik saja”. Stigma membuat orang depresi diam. Diam membuat mereka merasa sendirian. Kesendirian membuat mereka merasa hidup tidak layak.
Keempat, jadikan tauhid sebagai filter nilai. Tauhid bukan teori kosong. Ia mengajarkan: jangan tunduk kepada hal-hal yang tidak absolut. Jangan menyucikan yang profan. Jangan menyerahkan harga diri kepada penilaian orang lain.
Tauhid, dalam makna paling manusiawi, mengembalikan napas dan martabat. Ia membebaskan manusia dari tekanan sosial yang tak perlu. Ia memberi ruang bahwa salah itu wajar, gagal itu bagian dari hidup, dan hidup tetap layak dijalani meski tidak sempurna.
Melihat tragedi yang berulang, mungkin kita memang perlu kembali bertanya: apa yang sebenarnya membuat manusia merasa hidup ini layak? Jawabannya mungkin sederhana: manusia butuh pusat nilai yang tidak berubah-ubah, yang tidak menekan, dan tidak menuntut kesempurnaan.
Dalam tradisi kita, itu bernama tauhid.
Dan mungkin, itulah ruang pulang yang dibutuhkan manusia hari-hari ini.
Nama penulis : Ahmad Dailami Fadhil
















