EDUKASIPENDIDIKANRAGAM

JUARA 3 ESSAY PEKAN AKUAKULTUR INDONESIA DI KAMPUS UMI MAKASSAR ; PENCEMARAN LINGKUNGAN : Peran Mangrove Sebagai Teknologi Alami untuk Menunjang Kegiatan Budidaya Melalui Konsep Blue Economy (BE)

277
×

JUARA 3 ESSAY PEKAN AKUAKULTUR INDONESIA DI KAMPUS UMI MAKASSAR ; PENCEMARAN LINGKUNGAN : Peran Mangrove Sebagai Teknologi Alami untuk Menunjang Kegiatan Budidaya Melalui Konsep Blue Economy (BE)

Sebarkan artikel ini
Penyerahan Piala Juara 3 Lomba Essay PAI di Makassar oleh Sekjend HIMAKUAI Periode 2021/2023

Konus.id, Makassar – Indonesia merupakan negara yang dihiasi oleh keindahan dan kekayaan ibu pertiwi melalui hijaunya hutan tropis, dan birunya bentangan maritim. Label negara kepulauan tentu selaras dengan potensi yang dimiliki oleh negara kita, Indonesia. Melimpahnya hasil produksi perikanan melalui kegiatan budidaya dan perikanan tangkap tentu didukung penuh oleh keberadaan Indonesia yang berdiri kokoh diatas tanah VIP dunia yang bersahabat dengan perairan strategis yang disandingkan dengan suburnya kehidupan di tanah air. Namun bersamaan dengan itu, dalam artikel yang ditulis oleh Yosepha Pusparisa (2018), Indonesia adalah negara ke-8 teratas dalam menyumbang gas rumah kaca. Tak sampai disitu, sebagian masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pembudidaya masih menggunakan cara tradisional yaitu pembukaan lahan hutan mangrove seluas- luasnya dengan pandangan bahwa hal tersebut bisa meningkatkan hasil produksi. Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa perluasan lahan akan berdampak sangat fatal bahkan dapat menyebabkan krisis lingkungan yang berkepanjangan.

Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat lingkungan sekitar kita semakin teruk. Dengan demikian, yang menjadi korbannya adalah hutan mangrove. Padahal, mangrove adalah salah satu pahlawan yang ikut menekan Global Warming sebagai penyeimbang atas meningkatnya gas rumah kaca dan habitat bagi ribuan biota kecil di perairan. Selain itu, mangrove juga dapat menjadi pondasi utama untuk mempersiapkan dasar budidaya yang baik untuk menghasilkan produksi yang maksimal tanpa mengganggu keseimbangan lingkungan. Menurut Esti Handayani Hardi,dkk., (2022) mengatakan bahwa Masyarakat perlu diberikan alternatif pengelolaan tambak yang lebih efektif dan ekonomis tujuannya adalah agar pembukaan lahan ekosistem mangrove tidak terus berlanjut.

Beberapa masalah yang dikeluhkan masyarakat adalah, menurunnya produktivitas tambak, kualitas air makin buruk, dan ketersediaan pakan alami udang yang makin rendah. Teknologi budidaya yang dilakukan masyarakat adalah budidaya turun menurun dan hampir tidak ada peningkatan metode atau pembaruan cara budidaya yang dilakukan sehingga penyelesaian masalah yang dihadapi terkait pengelolaan tambah relatif sulit diselesaikan (Hardi,dkk., 2022). Oleh karena itu, kita perlu mengalihkan sorotan kita ke mangrove yang memiliki jawaban masalah tersebut.

Hutan mangrove yang selalu dipuji-puji negara luar, sebenarnya hampir karam ditangan kita sendiri. Sangat disayangkan bahwa kenyataannya semua perangkat kekayaan ini tidak terkontrol dengan maksimal, sebab masih ada ketimpangan ekosistem yang terjadi. Padahal jika dilihat dari keuntungan secara geografis, Indonesia merupakan salah satu penyumbang oksigen terbesar di dunia, melalui hutan tropis dan mikroorganisme yang keberadaannya ada di sepanjang bentangan perairan Indonesia. Menurut Hilman Nugroho (2012), sebesar 58% mangrove di Indonesia telah rusak. Padahal, sebanyak 22,4% mangrove dunia berada di negara Indonesia. Jika kita melihat dari potensi mangrove, maka kita akan mendapati banyak keuntungan didalamnya. Menurut Abdul Manaf Wihel, dkk (2014) menyatakan bahwa Ekosistem mangrove memegang peranan yang sangat vital dalam mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon/emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca. Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan.

Hutan mangrove mempunyai fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai, dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan, dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar, peredam gempuran ombak/tsunami. Secara ekologis, hutan mangrove berperan sebagai pelindung pantai dari bahaya tsunami, penahan erosi, dan perangkap sedimen, pendaur hara, menjaga produktifitas perikanan, peredam laju intrusi air laut, penyangga kesehatan, menjaga keanekaragaman hayati, dan menopang ekosistem pesisir lainnya (Abdul Manaf Wihel, dkk., 2014). Hal ini tentu sudah disadari oleh pemerintah Indonesia yaitu dengan dibentuknya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dan masih banyak program yang memiliki hasil akhir pelestarian mangrove. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui program inovatinya telah mencanangkan sebuah konsep berbasis ramah.

lingkungan yang saat ini dikenal dengan sebutan Blue Economy (BE). Konsep ini sejalan dengan canangan FAO yaitu Blue Growth yang juga menekankan tentang kelestarian lingkungan dalam penerapan konsepnya, sehingga menjadikan BE selaras dengan program yang digiatkan oleh sebagian besar penduduk dunia. Dengan demikian, peran mangrove sangat dibutuhkan untuk menjadi alat tempur dalam mempersiapkan dasar yang baik untuk melakukan kegiatan budidaya.

Mangrove menjadi jawaban sekaligus penunjang dari permasalahan yang ada dalam kegiatan budidaya, yaitu sebagai teknologi alami. Ia dapat menjadi dasar dan menjadi langkah awal untuk mempersiapkan segala sesuatu, mulai dari mempertahankan ekosistem biota kecil yang akan menjadi pakan alami komoditi yang akan di budidayakan, menjadi produsen utama dalam siklus rantai makanan, dan menjaga kualitas air khususnya menghindari kekeruhan air melalui proses sedimentasi yang akan mempengaruhi fotosintesis dari fitoplankton, serta meningkatkan produksi budidaya.

Hal tersebut dibuktikan dengan percobaan system budidaya yang selaras dengan konsep blue economy, yaitu Silvofishery atau yang lebih dikenal dengan sebutan wanamina yang sesuai untuk daerah pesisir. Silvofishery berhasil meningkatkan produksi sebanyak 2x lipat melalui uji coba dan mampu mengarahkan pandangan masyarakat setempat mengenai keberadaan mangrove dengan seribu manfaatnya. Dari beberapa contoh yang ada dapat membuktikan bahwa silvofishery sangat sesuai dengan konsep BE. Bahkan, dilihat dari data yang diperoleh di tahun 2012 luas mangrove hanya mencapai 3,1 jt dan meningkat pada tahun 2021 hingga 3,4 jt setelah masyarakat mulai ramai memahami metode Silvofishery (Esti Handayani Hardi, dkk., 2022). Sehingga, Silvofishery atau wanamina dapat menjadi salah satu alternatif pembudidaya tambak di daerah pesisir. Dengan banyaknya permasalahan yang dapat diatasi oleh keberadaan mangrove, maka saya dengan yakin menyebut bahwa mangrove adalah teknologi alami yang dapat menjadi penunjang sekaligus pondasi bagi pembudidaya yang akan melakukan kegiatan budidaya di tambak apalagi di wilayah mangrove.

Berbicara mengenai teknologi, tidak hanya melulu bergumam mengenai listrik ataupun mesin seperti duga kebanyakan orang. Tertera jelas di Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa teknologi adalah “Keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.” Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa mangrove adalah teknologi alami yang diwariskan kepada kita, dan menjadi solusi utama untuk menunjang sepanjang proses budidaya dengan hasil maksimal sebagai perwujudan konsep blue economy yang tetap mempertahankan kelestarian lingkungan dan nilai ekonomisnya.

Dalam hal ini, kami merekomendasikan metode silvofishery sebagai solusi atas permasalahan yang dikeluhkan oleh pembudidaya yaitu perihal pakan alami, produktivitas tambak, dan permasalahan kualitas air. Selain itu, saya juga merekomendasikan pembaca untuk melakukan lebih banyak riset mengenai silvofishery secara mendalam agar dapat diketahui hal apa saja yang perlu dipersiapkan atau bahkan harus diperbaiki.

Nama Penulis

Aulia Wanda Devania (1906016020) Akuakultur/FPIK UNMUL

Muhammad Ikhsan Amin (2006046024) Teknologi Hasil Perikanan/FPIK UNMUL

REFERENSI

 Hardi, E.H., Haris,H.S.,Rita,D.,Nurul,P.P.,Khrisna.P.C. 2022. Sosialisasi Budidaya Udang Dengan Model Smart Silvofishery Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Kecamatan Muara Badak, Kalimantan Timur. Samarinda. Abdiku, Jurnal Pengabdiam Masyarakat Universitas Mulawarman.

Nugroho, H. 2012. 1,8 Juta Hektare Hutan Mangrove di Indonesia Rusak. (https://nasional.tempo.co/read/439807/18-juta-hektare-hutan- mangrove-di-indonesia-rusak). Diakses pada 20 Februari 2023.

Pusparisa,    Y.    2018.    Penyumbang    Emisi    Gas    Rumah    Kaca    Terbesar. (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/02/16/10-negara- penyumbang-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar)       diakses  pada   20 Februari 2023.

Wihel, A.M.,Soenarto,N.,Martanto,M. 2014. Peranan Ekosistem Mangrove Dalam Mengurangi Dampak Pemanasan Global (Global Warming). Raja Ampat. Universitas Kristen Satya Wacana.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *