RAGAM

Sawit, Uni Eropa, dan Merkantilisme Baru: Mengapa Indonesia Tak Boleh Mundur

92
×

Sawit, Uni Eropa, dan Merkantilisme Baru: Mengapa Indonesia Tak Boleh Mundur

Sebarkan artikel ini
Perkebunan Sawit (ist)

Oleh: Ahmad Dailami Fadhil

Peserta LK III BADKO HMI JABODETABEK-BANTEN

Di setiap putaran negosiasi dagang dengan Uni Eropa, Indonesia seperti menyaksikan film lama yang diputar ulang: sawit kembali menjadi kambing hitam. Tuduhan lama tidak ramah lingkungan, menyebabkan deforestasi, dan tak layak disebut energi terbarukan diangkat lagi, kini lewat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang secara halus mengusir sawit dari pasar biofuel Eropa.

Padahal, sebagian besar warga desa di Sumatra dan Kalimantan hidup dari komoditas ini. Industri sawit menyerap lebih dari 16 juta pekerja langsung dan tidak langsung. Tapi bagi Eropa, itu bukan soal. Yang mereka lihat adalah kompetisi. Dan kompetisi itu mengancam industri minyak nabati mereka sendiri.

Kalau kita mengintip dari kacamata Ekonomi Politik Internasional, terutama pendekatan merkantilisme, apa yang dilakukan Eropa sebenarnya sangat klasik: negara melindungi sektor strategisnya, apa pun bungkus moral yang dipakai. Dulu proteksionisme tampil dengan tarif dan kuota. Kini ia datang lewat standar hijau dan regulasi keberlanjutan. Baju boleh baru, tapi logikanya tetap sama.

Susan Strange, salah satu pemikir paling tajam di bidang ini, pernah menyebut hubungan ekonomi-politik internasional sebagai arena reluctant reciprocities, dorongan negara untuk bekerja sama, tapi selalu setengah hati. Ada dua sebab historis yang kita lihat sejak 1970-an, yang kini terasa relevan.

Pertama, struktur Bretton Woods yang dibangun pasca Perang Dunia II sebenarnya didesain untuk membuka ekonomi global. Tapi semuanya berubah ketika Nixon Shock 1971 membatalkan standar emas dan menggeser permainan ke arah kepentingan domestik Amerika. Aturan bisa berubah sewaktu-waktu jika rumah sendiri sedang tidak aman. Eropa sedang melakukan hal serupa: standar keberlanjutan diperketat ketika industri rapeseed dan sunflower-nya terdesak oleh produktivitas sawit yang tiga kali lipat lebih tinggi.

Kedua, proses dekolonisasi menciptakan negara-negara baru yang dipaksa masuk ke pasar global sebagai pemasok komoditas, tetapi tanpa kekuatan politik yang setara. Dalam struktur itu, negara-negara maju selalu punya ruang lebih besar untuk menentukan aturan main. Sawit hanyalah contoh terbaru dari pola tersebut.

Dengan kata lain, ini bukan soal moral lingkungan. Ini soal siapa yang berhak menentukan standar.

Pendekatan merkantilisme menganggap bahwa pasar internasional bukan tempat bebas nilai, melainkan arena bagi negara untuk mengamankan kekuatan ekonominya. Karena itu, perdagangan bukan semata mencari keuntungan, melainkan memastikan industri strategis tetap hidup.

Indonesia pun seharusnya membaca isu sawit seperti itu: komoditas ini bukan hanya devisa, tapi alat pertahanan ekonomi nasional.

Menariknya, sejumlah pemikir modern seperti Robert Gilpin menyebut bahwa merkantilisme hari ini tidak selalu berarti permainan zero-sum. Negara bisa mengejar kepentingan nasional sambil tetap menciptakan manfaat bersama. Sawit, sebenarnya, punya potensi seperti itu: Indonesia mendapat devisa dan lapangan kerja; Eropa mendapat minyak nabati murah. Positive-sum game.

Yang membuatnya terasa zero-sum hanyalah perebutan siapa yang memegang pena untuk menulis aturan.

Jika Eropa konsisten dengan argumen keberlanjutan, mereka mestinya memperlakukan seluruh minyak nabati dengan standar yang sama. Namun faktanya tidak. Tanaman rapeseed lebih boros lahan, lebih banyak menggunakan pupuk, dan produksinya stagnan. Ironisnya, sawit yang lebih efisien justru dipinggirkan.

Sejumlah studi ekonomi dari World Bank hingga CIFOR sudah lama menyebut ini sebagai bentuk “environmental protectionism”: proteksionisme yang mengecat wajahnya dengan warna hijau.

Kita selalu diberi pesan bahwa sawit harus memperbaiki diri. Itu betul. Namun Eropa juga harus bercermin.

Lalu, apa yang perlu dilakukan Indonesia?

Pertama, diplomasi dagang harus agresif, bukan reaktif. Menggugat ke WTO langkah yang benar, tapi Indonesia perlu mengonsolidasikan koalisi produsen sawit, memperkuat CPOPC, dan membawa isu unfair trade barrier ke forum besar seperti G20.

Kedua, peningkatan standar domestik wajib dilakukan. Sertifikasi ISPO harus diperbaiki bukan untuk mengejar pengakuan, tapi untuk memastikan petani kecil tidak menjadi korban perang dagang.

Ketiga, diversifikasi pasar. Indonesia tak boleh menggantungkan nasib pada satu pasar. Asia Selatan, Asia Timur, hingga Afrika Timur punya permintaan yang terus meningkat.

Keempat, hilirisasi. Selama Indonesia hanya menjual CPO mentah, posisi tawarnya akan terus rapuh. Rantai nilai harus diperkuat: oleokimia, kosmetik, bioplastik, hingga biofuel domestik.

Dan yang terakhir, narasi. Dunia percaya pada negara yang percaya diri. Ketika sawit diserang, kita terlalu sering tampil defensif. Indonesia perlu menguasai wacana global, bukan sekadar memberi klarifikasi, tapi menyodorkan fakta dan cerita bahwa sawit adalah instrumen pembangunan pedesaan, energi terbarukan, dan efisiensi lahan.

Pada akhirnya, pertarungan sawit Indonesia dan Uni Eropa bukan perselisihan teknis soal sertifikasi. Ini kisah lama tentang bagaimana negara maju mempertahankan kepentingannya lewat aturan yang tampak netral. Dalam kacamata merkantilisme, itu sepenuhnya dapat diprediksi.

Karena itu Indonesia tak boleh minder. Tidak perlu ragu menyebut bahwa sawit adalah bagian dari strategi ekonominya. Di tengah dunia yang semakin proteksionis, mempertahankan komoditas yang menghidupi jutaan rakyat bukanlah sikap defensif melainkan bentuk kedewasaan.

Jika Eropa memakai logika merkantilisme gaya baru, Indonesia sah untuk menegaskan posisi: kedaulatan ekonomi bukan barang tawar-menawar. Sawit bukan sekadar komoditas, ia adalah simbol bahwa Indonesia menolak menjadi penonton di arena perdagangan global.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *