Konus.id, Samarinda — Angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Samarinda mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Namun menurut Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, dr. Sri Puji Astuti, peningkatan ini bukan semata-mata karena makin banyaknya kasus baru, melainkan karena makin banyak korban yang akhirnya berani bersuara setelah sekian lama memilih diam.
“Selama ini, banyak korban memilih bungkam karena merasa takut, malu, atau bahkan tidak tahu harus ke mana mencari perlindungan. Sekarang, perlahan mereka mulai merasa ada ruang yang aman untuk bercerita. Ini perkembangan yang baik,” ujar Sri Puji.
Menurutnya, keberanian korban mengungkapkan kasus kekerasan masa lalu harus disambut dengan sistem perlindungan yang lebih kuat dan responsif. Pemerintah dan lembaga sosial, kata dia, harus bersinergi agar korban mendapatkan pendampingan yang komprehensif.
“Jangan sampai mereka sudah berani bicara, tapi tidak ada tindak lanjut. Itu bisa membuat trauma mereka makin dalam dan membuat korban lain kembali takut,” tegasnya.
Sri juga menekankan bahwa upaya pencegahan harus dimulai dari lingkungan keluarga, terutama melalui peran orang tua. Ia menyayangkan masih banyak orang tua yang abai terhadap kondisi psikologis dan sosial anak-anak mereka.
“Orang tua tidak hanya bertugas memberi makan dan menyekolahkan anak. Mereka juga harus hadir secara emosional, mendengarkan, memahami, dan membimbing. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pengawasan yang baik, cenderung terhindar dari kekerasan, baik sebagai korban maupun pelaku,” ujarnya.
Ia menyebut pola komunikasi yang terbuka dan hangat antara anak dan orang tua bisa menjadi benteng pertama untuk mencegah kekerasan.
“Anak-anak harus merasa bahwa rumah adalah tempat paling aman. Kalau mereka tidak merasa aman di rumah, di mana lagi mereka bisa mencari perlindungan?” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pendidikan karakter sejak dini di sekolah, yang tidak hanya fokus pada nilai akademis, tetapi juga pada empati, moral, dan tanggung jawab sosial.
“Kalau kita hanya mencetak anak-anak pintar secara intelektual, tapi tidak memiliki empati dan kontrol diri, itu justru berbahaya. Pendidikan karakter adalah fondasi utama,” pungkasnya.
(aw/adv/dprd/smd)